OK BUNGA MAWAR Srimulat



OK BUNGA MAWAR, di grup ini terdapat Gesang, Hendroyadi, Hardiman dan Ndoro Griwo. Orkes ini sering pentas ke berbagai kota di Jawa Tengah dan lagu-lagunya disiarkan RRI Solo.


Dalam pementasan Orkes Keroncong Bunga Mawar di Purwodadi, Teguh berjumpa dengan Raden Ayu Srimulat. Inilah titik awal kebersamaan mereka di rombongan Orkes Bintang Timur pimpinan Djamaluddin Malik serta dalam Orkes Keroncong Bintang Tionghwa yang dipimpin oleh Kho Tjay Yan. Tahun 1949, R.A. Srimulat mendirikan Orkes Keroncong Avond dengan Teguh sebagai pendukung utama. Setahun kemudian, tanggal 8 Agustus 1950, mereka menikah dan mendirikan Gema Malam Srimulat. Teguh sendiri menjadi pimpinan Srimulat sejak 1957 hingga 1985. Teguh menikah lagi dengan Jujuk Juariah, primadona kelompok Srimulat, pada tahun 1970, 2 tahun setelah RA Srimulat meninggal. Teguh meninggal dunia pada tanggal 22 September 1996.

S. PADIMIN



S. PADIMIN adalah pimpinan di Orkes Keroncong Cendrawasih, S. Padimin menulis dan mengkomposisi lagu-lagu ciptaannya. Memang popularitasnya tidak setenar Gesang, Ismail Marzuki, atau Kusbini yang karyanya banyak dimainkan hingga saat ini.  Tak ada data informasi lengkap tentang tokoh ini selain pencantuman namanya di beberapa lagu keroncong yang ia ciptakan. Dalam kaset album “Keroncong & Stambul Old Favourites Vol. 1” yang dirilis Lokananta Records, S. Padimin menggaet beberapa penyanyi wanita untuk menyanyikan karyanya antara lain Suciati, Sutarsih, Hetty, Kustiyati, dan beberapa penyanyi lelaki yaitu S. Akhiyat, AM. Yahya dan Ms. Hudi. Ada satu lagu favorit saya di album ini, yaitu Cianjur. Lagu yang dinyanyikan oleh Sutarsih ini bercerita tentang keelokan Cianjur sebagai sebuah wilayah dengan alam yang pemandangan indah, keramah-tamahan penduduknya, dan juga kesuburan tanahnya. Sutarsih bernanyi dengan nada ceria dan centil.

OK GANESA TRENGGALEK



OK GANESA TRENGGALEK
Ok Ganesa merupakan grup dan tokoh keroncong senior di kota Trenggalek.
Dan salah satu Tokoh Keroncong Ok Ganesa yaitu bapak SUMIRAN, beliau musisi Contra Bass di grup tersebut. Menurut sumber yang terpercaya yaitu pakdhe Jumali mengatakan tentang pak Sumiran, "Ok Ganesa itu beliau pegang bass kontra saya masih bayi,  keroncong hanya itu di Trenggalek" begitu tutur pakdhe Jumali.  Jadi Ok Ganesa merupakan satu satunya grup keroncong di Trenggalek kala itu.  Tampak dalam foto bapak Sumiran yang mengenakan kaos putih.



MARKASAN MAESTRO KERONCONG SURABAYA



MARKASAN dilahirkan di kota Surabaya pada tahun 1918 dan tinggal di kota Surabaya. Dalam pergaulan sehari hari beliau tergolong orang pendiam dan rendah hati. Tetapi jiwa seninya sangat kental dan penuh dinamika, hal ini dapat kita lihat dari hasil karyanya. Isi hatinya di curahkan dalam bentuk lagu, nada, kata kata dan irama yang selalu di sesuikan dengan keadaan.

Sejak muda bakatnya memang sudah terlihat, yang menjadi kegemaranya terutama lagu lagu keroncong. Pengaruh daerah kelahiranya sangat mendalam dalam lubuk hatinya. Maka tidaklah heran kalau Markasan suka memainkan lagu lagu keroncong dan berbelok arah ke jurusan langgam jawa Khusus Jawa Timur.

Pada tahun 1948 Markasan bersama kawan2nya membentuk grup orkes keroncong dengan nama Orkes Keroncong Aneka Warna dan beliau menjadi leadernya. Selain itu beliau juga memainkan Cuk, Cello dan Gitar Hawaian.

Ok Aneka Warna ikut mengisi acara siaran radio di Surabaya dan popularitasnya semakin tambah. Selain itu juga sering menerima undangan sampai keluar kota. Ok Aneka Warna mempunyai warna corak yang khas dan spesifik. Dalam memajukan Ok Aneka Warna, Markasan dibantu oleh Achmad dan Ramelan. Hasil karya beliau yang sangat populer yaitu Lela Ledung dan Biyen Biyen Katon Apa yang di rekam dalam piringan hitam Seri ARI - 086. Untuk itu Soeparlan dan Kasman menolong membuatkan syairnya.

MUSISI OK CENDRAWASIH



MUSISI OK CENDRAWASIH
Pimpinan S. HOEDY KHUSJUK / S. PADIMIN

Hawaian/ Arr                  S. DENAN
Flute                                S. PARMAN
Biola                                URIP SANTOSO
Guitar                              S. YATMAN
Cello                                SOEBOER
CUK                                 RAMELAN
Cak                                  TAMIN
Bass                                 SIDIQ
Tambourine                    S. DRIYA








GREGORIUS DJADUK FERIANTO



GREGORIUS DJADUK FERIANTO (lahir di Jogjakarta, 19 Juli 1964; umur 53 tahun) atau yang lebih dikenal dengan nama Djaduk Ferianto adalah seorang aktor, sutradara dan musikus berkebangsaan Indonesia. Ia adalah putra bungsu dari Bagong Kussudiardja, koreografer dan pelukis senior Indonesia. Dalam bermusik, dia lebih berkonsentrasi pada penggalian musik-musik tradisi. Djaduk adalah salah satu anggota dari kelompok musik Kua Etnika, musik humor Sinten Remen, dan Teater Gandrik. Selain bermusik, dia juga menyutradarai beberapa pertunjukan teater dan menggarap ilustrasi musik untuk sinetron di televisi. Djaduk pernah mendirikan Kelompok Rheze yang tahun 1978 pernah dinobatkan sebagai Juara I Musik Humor tingkat Nasional, mendirikan Kelompok Musik Kreatif Wathathitha. Pada tahun 1995, bersama dengan kakaknya, Butet Kertaradjasa dan Purwanto, mendirikan Kelompok Kesenian Kua Etnika, yang merupakan penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern. Pada tahun 1997, Djaduk mengolah musik keroncong dengan mendirikan Orkes Sinten Remen.Salah satu hal yang pernah mengganjal Djaduk adalah label lokal dan nasional. Ia mengalami diskriminasi itu sejak 1979. Djaduk baru bisa masuk industri (nasional) tahun 1996, setelah muncul di acara Dua Warna RCTI. Maka ketika Djaduk banyak menerima job tingkat nasional, ia tetap bertahan sebagai orang lokal. Tak akan menetap atau berdomisili Jakarta, meski frekuensi tampil di ibukota sangat tinggi. Djaduk dan kelompoknya tetap berada di Yogya.

Anak Bagong Kussudiardja ini juga tak mau kalah dari kakaknya, Butet Kertaredjasa. Djaduk lahir di Yogyakarta pada 19 juli 1964. Dalam bermusik, ia lebih fokus pada penggalian musik-musik tradisi. Kelompok Rheze yang didirikannya pernah dinobatkan sebagai Juara I Musik Humor Tingkat Nasional. Sebagai aktor, Djaduk pernah terlibat dalam film Petualangan Sherina (2000), Koper (2006), Jagad X Code (2009), dan Cewek Saweran (2011). Sementara sebagai pemusik, sekira 8 album telah dihasilkannya.


TEGUH SLAMET RAHARDJO



KHO TJIEN TIONG, atau dikenal dengan Teguh Slamet Rahardjo lahir di Klaten, Jawa Tengah, Hindia Belanda, 8 Agustus 1926 meninggal di Solo, Jawa Tengah, Indonesia, 22 September 1996 pada umur 70 tahun, adalah seorang seniman Indonesia. Teguh lahir dari keluarga miskin di Bareng, Klaten, Jawa Tengah, dari pasangan Ginem dan Go Bok Kwie. Teguh menyelesaikan pendidikan dasarnya di Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Purwoningratan Solo. Teguh adalah Ketua  HAMKRI Surakarta generasi ke II setelah Budi Sulistyo suami Waldjinah.

Pada tahun 1942, Teguh mulai membantu ayahnya bekerja di percetakan. Ia bersahabat akrab dengan seorang pembuat gitar bernama Wiro Kingkong. Bersama temannya, Tan Tiang Ping, ia kemudian membentuk grup keroncong Asli di Kampung Perawit. Lalu bergabunglah Lie Tjong Yan, Liem Swie Hok, Liew Houw Wan, The Kit Liong, Kho Djien Tik dan Yo Thio Im. Di sini, Teguh mulai belajar
bermain gitar dan biola. Bersama Supardi, ia menjadi anggota grup musik di Gedung Kakio Sokai, Purwoningratan. Di sinilah ia berpentas musik untuk umum untuk pertama kalinya. Pada tahun 1943, ia terlibat dalam pesta para pembesar tentara Jepang di Gedung Gajah, Solo. Teguh lalu menerima tawaran dari Thio Tek Djien-Miss Ribut untuk bergabung dalam rombongan sandiwara Miss Ribut’s Orion yang setiap malam menggelar pertunjukan di Gedung Shonan, Pasar Pon, Solo. Dua bulan kemudian, grup ini bubar. Pada tahun 1946, ia menerima tawaran R. Supomo untuk bergabung dengan Orkes Keroncong Bunga Mawar. Di grup ini ia bersama Gesang, Hendroyadi, Hardiman dan Ndoro Griwo. Orkes ini sering pentas ke berbagai kota di Jawa Tengah dan lagu-lagunya disiarkan RRI Solo. Dalam pementasan Orkes Keroncong Bunga Mawar di Purwodadi, Teguh berjumpa dengan Raden Ayu Srimulat. Inilah titik awal kebersamaan mereka di rombongan Orkes Bintang Timur pimpinan Djamaluddin Malik serta dalam Orkes Keroncong Bintang Tionghwa yang dipimpin oleh Kho Tjay Yan. Tahun 1949, R.A. Srimulat mendirikan Orkes Keroncong Avond dengan Teguh sebagai pendukung utama. Setahun kemudian, tanggal 8 Agustus 1950, mereka menikah dan mendirikan Gema Malam Srimulat. Teguh sendiri menjadi pimpinan Srimulat sejak 1957 hingga 1985. Teguh menikah lagi dengan Jujuk Juariah, primadona kelompok Srimulat, pada tahun 1970, 2 tahun setelah RA Srimulat meninggal. Teguh meninggal dunia pada tanggal 22 September 1996. Selama memimpin Srimulat, Teguh menggunakan corak kepemimpinan kharismatik. Pengaruhnya bersifat personal dan mendapat pengakuan luas dari pengikutnya. Hal ini terjadi karena sifat Srimulat yang masih kekeluargaan dan bersifat komunal. Pendidikan anggota yang umumnya rendah juga membuat kepemimpinan bersifat paternalistik. Seluruh mekanisme ide lawakan, manajemen keuangan, penyusunan cerita, sampai keputusan untuk mengembangkan usaha diserahkan pada Teguh.


Pola kepemimpinan seperti inilah yang kemudian menghasilkan berbagai persoalan di internal Srimulat. Ini dikarenakan kepemimpinan paternalisitik tidak bisa dijadikan landasan untuk memecahkan masalah secara rasional-modern, tidak adanya pembagian kekuasaan, otoritas terpusat pada satu orang, tidak adanya merit system/sistem reward yang jelas, dan persoalan suksesi dan munculnya hegemoni di pelawak senior. Faktor-faktor inilah yang menjadi sebab utama runtuhnya Srimulat pada tahun 1989. Selama Teguh berkuasa sebagai pemimpin Srimulat, seluruh persoalan di atas diselesaikan di tangannya, terutama soal regenerasi dan kaderisasi, tetapi setelah Srimulat bubar dan tidak adanya sistem pendukung, maka runtuhlah bangunan Srimulat sebagai sebuah organisasi/lembaga. Meski dari segi nilai, Srimulat telah melampau hakikatnya sendiri.





SILSILAH KETUA HAMKRI SURAKARTA



SILSILAH KETUA HAMKRI SURAKARTA

Ketua Hamkri yang pertama yaitu Budi Sulistya suami dari Waldjinah. Setelah itu di ganti oleh Kho Tjien Tiong suami Jujuk Juariah, atau dikenal dengan Teguh Slamet Rahardjo lahir di Klaten, Jawa Tengah, Hindia Belanda 8 Agustus 1926 meninggal di Solo, Jawa Tengah, Indonesia, 22 September 1996 pada umur 70 tahun adalah seorang seniman Indonesia dan juga pemilik Srimulat. Teguh hanya menjabat 2 tahun dan kepempinan diserahkan kembali  Budi Sulistyo. Tongkat estafet selanjutnya adalah Raja langgam jawa yaitu KRT Andjar Any Singanagara dengan nama asli Andjar Mudjiono, lahir di Ponorogo, 3 Maret 1936 meninggal di Surakarta 13 November 2008 pada umur 72 tahun juga seorang sastrawan terutama sastra Jawa modern, wartawan, dan kritikus seni asal Surakarta. Setelah Andjar Any tongkat estafet selanjutnya yaitu R. Sugianto sampai selanjutnya digantikan oleh Ratu keroncong Waldjinah sebagai penyanyi keroncong senior, kiprahnya selama puluhan tahun banyak mendapatkan apresiasi, antara lain Anugerah Seni Jateng 2002, Penghargaan Putri Solo dari Paku Buwono XII 2003, dan Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia 2006. Setelah Waldjinah tongkat estafet selanjutnya yaitu Willy Tandio Wibowo dan pelantikan pengurus DPC Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKRI) Kota Solo, di Loji Gandrung Jl Slamet Riyadi Solo, Jumat (18/11/2011) malam. Pengurus DPC HAMKRI Kota Solo dilantik untuk masa kepengurusan tahun 2011 sampai dengan tahun 2016. Willy memimpin hanya sampai 2014, karena mengundurkan diri dan ada SK PJ,  selanjutnya Hamkri di pimpin oleh Wartono ketua Hamkri yang sekarang adalah generasi yang ke VII.

Silsilah Ketua Hamkri Surakarta
1. Budi Sulistyo
2. Teguh Slamet Rahardjo
3. Andjar Any
4. R. Sugianto
5. Waldjinah Budi
6. Willy Tandio Wibowo
7. Wartono (Krontjong Wartono facebook)

MULYADI FLUTE (Mul Kisut)



MULYADI almarhum dulu tinggal di Surabaya dan setelah menikah dengan Murtie yang merupakah vokalis keroncong di Solo, kemudian menetap di kota Solo. Mulyadi belajar berbagai alat musik, tapi favoritnya yaitu Saxophone. Selanjutnya beliau meneruskan untuk bermain musik klasik dan juga pemimpin sebuah band rock. Setelah beberapa saat ia menjadi tertarik pada keroncong dan bergabung dengan beberapa orkestra sehingga ia bisa mempelajari teknik dan memahami struktur musik. Pada saat itulah dia mulai membuat pengaturan instrumental yang dia dapatkan dengan tangan.


Keroncong menjadi gairah dan Mulyadi segera mengembangkan reputasi untuk keahliannya. Hal ini menyebabkan pengangkatannya sebagai pemimpin Radio Orkes Surakarta (ROS), posisi yang dipegangnya selama bertahun-tahun waktu itu.Setelah beliau pensiun dari ROS, dia terlibat dalam beberapa orkestra keroncong lokal namun mengatakan bahwa fokusnya adalah melestarikan musik kesukaannya dengan mengajari kaum muda. "Banyak anak muda diperkenalkan ke keroncong oleh orang tua mereka dan mereka merasa sangat menyukainya. 'Selain itu, meski banyak orang bisa bermain keroncong, mereka perlu dibimbing untuk mengembangkan jiwa (roh, jiwa) musik. Sama halnya dengan jazz dan pop jika Anda tidak memiliki semangat, musiknya tidak memiliki sesuatu.

Mulyadi almarhum bersama Mini Satria dalam album kaset 

Mulyadi mengajar anak laki-laki dan perempuan sebuah perubahan dari masa lalu ketika laki-laki bermain dan perempuan bernyanyi dan bertujuan untuk membangun kelompok keroncong dari musisi muda. Sementara itu ia termasuk pemain muda di orkestra sehingga bisa mendapatkan pengalaman. Dalam sebuah pertunjukan publik , Mulyadi duduk di antara dua pemain flute muda, salah satunya adalah anaknya, sementara seorang pemain senior membimbing dua pemain biola muda.


MUS MULYADI





MUS MULYADI lahir di Surabaya, Jawa Timur, 14 Agustus 1945; umur 72 tahun adalah penyanyi keroncong Indonesia. Ia bahkan mendapat julukan sebagai si "Buaya Keroncong". Beberapa lagunya yang menjadi hit antara lain, "Kota Solo", "Dinda Bestari", "Telomoyo", dan "Jembatan Merah". Ia pernah menjadi anggota Favourite Band. Istrinya juga seorang penyanyi, Helen Sparingga, dan adiknya juga menjadi penyanyi pop & jazz Mus Mujiono di era 1980-an.

Terlahir dengan nama Mulyadi, dilahirkan di Kota Buaya, dan menghabiskan masa kecil hingga remajanya di kota itu. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara anak dari pasangan Ali Sukarni dan Muslimah. Bakat seninya tumbuh secara otodidak karena pengaruh dalam keluarganya yang memang seniman. Meskipun ia tidak pernah dirancang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai pemain Gamelan untuk mengikuti jejaknya. Tiga saudaranya memilih berkecimpung dalam bidang seni tarik suara. Dua kakaknya yakni Sumiati berprofesi sebagai penyanyi keroncong di Belanda dan abangnya Mulyono dikenal di Surabaya sebagai penyanyi keroncong. Selain itu adiknya Mus Mujiono pun pada akhirnya terjun ke dunia musik dengan memilih musik jazz dan pop sebagai jalur pilihan kariernya.

Mendirikan Band Irama Puspita
Sebelum terjun sebagai penyanyi, pada masa remajanya di Surabaya ia telah membentuk sebuah band '''Irama Puspita''' dengan personil tiga belas wanita-wanita perkasa yang telah dipersiapkannya untuk sukses di panggung hiburan. Ia menjadi pelatih band Irama Puspita selama beberapa tahun. Band asuhannya ini pernah manggung di acara POI Ganefo di Jakarta dan merajai berbagai lomba festival musik di Surabaya. Namun 3 di antara anggotanya tanpa sepengetahuannya kemudian memilih hengkang, dan secara diam-diam pindah ke Jakarta. Ketiganya adalah Titiek AR, Lies AR dan Sugien alias Susy Nander. Ketiganya kemudian diketahui bergabung dengan sebuah band wanita di ibukota yang bernama Dara Puspita. Tak lama kemudian Mus Mulyadi pun membubarkan band asuhannya tersebut.

Mendirikan Band Arista Birawa
Mus bergabung sebuah grup band '''Arista Birawa''' pada tahun 1964 yang dibentuk oleh Busro Birawa. Personilnya adalah ia sendiri sebagai pemegang bas dan merangkap sebagai vokalis, Jeffry Zaenal (Abidin)' pada drum, M.Yusri pada Rhythm, Oedin Syach pada Lead guitar, bersama Sonata Tanjung. Bersama Arista Birawa, Mus Mulyadi menelurkan satu album Jaka Tarub yang diproduksi PT Dimita Moulding Industries Record pada tahun 1965. Belakangan band itu menghasilkan album rekaman lokal Si Ompong & Masa Depanmu di Serimpi Recording tahun 1972 tanpa keterlibatan Mus Mulyadi. Kemudian dirilis ulang pada tahun 2005 di recording Shadoks-Jerman.

Mengembara ke Singapura
Atas ajakan temannya Jerry Souisa sebagai pemimpin group, mengajak dua anggota Arista Birawa yakni Mus Mulyadi dan Jeffry Zaenal dan seorang rekannya Arkan untuk melakukan tour pertunjukan di Singapura. Meski pada mulanya ia ragu untuk meninggalkan bandnya yang sudah mempunyai gaung di kalangan arek-arek Surobayo. Apalagi saat itu ayahnya belum lama meninggal dunia. Namun akhirnya bersama tiga rekannya, ia meninggalkan Surabaya dan nekat mencoba mengadu nasib ke Singapura pada tahun 1967. Menggunakan kapal kayu selama 2 minggu perjalanan hingga mendarat di Tanjung Pinang. Kemudian mereka mereka menerima show hajatan tanpa dibayar oleh seorang saudagar tauke China sebagai upah untuk menyeberangkan mereka ke Singapura. Di Singapura mereka menumpang di rumah sebuah keluarga etnis Melayu. Selama 2 tahun di sana mereka tak kunjung mendapatkan tawaran show. Sempat menjadi gelandangan, kelaparan, dan terlunt-lunta tanpa makanan, pekerjaan, dan uang. Dengan keteguhan dan kesabaran mereka akhirnya mulai mendapatkan kesempatan mengubah nasibnya. Setelah sempat menjadi pengangguran, Mus belajar menciptakan lagu dan muncullah lagu "Sedetik Dibelai Kasih", "Jumpa dan Bahagia", " Kr. Jauh di Mata", hingga terkumpullah 10 lagu. Mereka membentuk sebuah band yang diberi nama The Exotic dengan personil Jerry Souisa pada lead guitar, Arkan pada Rhythm guitar, Jeffry Zaenal (Abidin) pada drum dan Mus Mulyadi pada bass sekaligus vocalist. Ia kemudian menawarkan karya-karyanya itu kepada Live Recording Jurong tahun 1969. Mereka langsung membuat 2 album Pop dan Keroncong dalam bentuk vinyl / plat yang biasa disebut (EP7 (Extended Play). Dalam cover album tersebut Mulyadi mulai menggunakan nama Mus Mulyadi sebagai nama resminya. Tambahan kata Mus ia ambil dari penggalan nama ibunya. Di Singapura, Mus berhasil mendapatkan uang 2.800 Dollar Singapura untuk dua LP (piringan hitam). Setelah mengantungi uang, Mus Mulyadi dan tiga rekannya kembali ke Tanah Air. Disayangkan mereka belum menikmati jerih payahnya di Singapura, karena memilih pulang ke Indonesia bertepatan dengan hari wafatnya Bung Karno.

Favourite's Group
Pada tahun 1971 ia rekaman solo di Remaco diiringi kelompok A. Riyanto, Empat Nada Band. A. Riyanto kemudian mengajaknya bergabung dengan band Empat Nada. Oleh A. Riyanto, konsep band 4 Nada sebagai band pengiring tetap yang selama ini dilakoninya di Remaco hendak diubahnya menjadi sebuah band mandiri. Band baru diberi nama Favourite's Group. Anggota awalnya adalah Mus Mulyadi (vokal/Rhythm), dan 4 anggota band 4 Nada : A Riyanto alias Kelik (Keyboard/Vokal), '''Nana Sumarna'''(Bass), '''Eddy Syam''' (Gitar) dan '''M. Sani''' (Drum). Mereka sangat modern dalam bermusik, tapi juga sangat maju dengan sentuhan romantisme masa silam. Mereka berhasil menempatkan nilai-nilai musik di kepala mereka sehingga menjadi kekuatan bagi Favourite’s Group. , Mereka lalu rekaman di Musica Studio. Lahirlah lagu: "Cari Kawan Lain", "Angin Malam", "Seuntai Bunga Tanda Cinta", "Nada Indah". Kaset ini ternyata meledak dan langsung mengangkat popularitas band ini. Namun selepas album vol. I ini terjadi perubahan formasi personil, dimana 3 anggota memilih kembali ke bandnya semula band 4 Nada.

A. Riyanto keyboardist merangkap leader dan Mus Mulyadi vocalist kemudian mencari pengganti untuk melanjutkan kiprah musik band Favourite's group. Mereka merekrut Is Haryanto pada drum dan Harry Toos pada gitar, untuk posisi bass dirangkap oleh Mus Mulyadi. Dengan formasi II ini mereka kemudian berhasil menelurkan album volume II yang bersisi lagi-lagu diantaranya “Mimpi Sedih, Aku Yang Kau Tinggalkan, Cintaku Suci, & Lagu Gembira”. Album ini cukup direspon pasar meski tak seheboh pada album I. Pada periode berikutnya terjadi perubahan formasi lagi (III) dengan penambahan pemain bass yakni Tommy W.S.. Dengan formasi ini Mus Mulyadi lebih fokus pada penyanyi utama. Formasi ini melaju dengan berbagai album yang hampir seluruhnya meledak di pasaran masa itu. Band ini kemudian menjadi sangat populer dan menjadi salah satu legenda musik Indonesia hingga saat ini.

Di sela aktivitasnya Favourite's Group, Mus Mulyadi ditawarkan oleh produser untuk membuat solo album. Dalam album tersebut Mus Mulyadi dibuatkan sebuah lagu berbahasa Jawa oleh Is Haryanto berjudul "Rek Ayo Rek". Lagu ini ternyata meledak di pasaran. Bahkan menjadi legenda dan salah satu icon abadi kota Surabaya. Setelah menyelesaikan album Favourite's Groupvol. 4 "Aku Tak Berdosa", Mus Mulyadi kemudian memilih mengundurkan diri dari Favourite's Group untuk berfokus pada karier penyanyi solo. Posisinya kemudian digantikan oleh Mamiek Slamet pada tahun 1978 setelah sebelumnya band ini sempat beraktivitas tanpa vocalist utama.

Mus kemudian mencoba menyanyikan lagu keroncong pop, ternyata hasilnya luar biasa dan meledak di mana-mana, seperti lagu Kr. Dewi Murni. Kasetnya laku keras. Setelah itu, julukan "Buaya Keroncong" pun melekat padanya. Saat show ke luar negeri seperti Belanda atau Amerika, ia dikenal sebagai The King of Keroncong.









































MANTHOUS



MANTHOUS nama asli Anto Soegiyartono adalah tokoh dan pemusik campursari, ia lahir di Playen, Playen, Gunung Kidul, 10 April 1950 – meninggal di Tangerang, 9 Maret 2012 pada umur 61 tahun. Pengalaman di Jakarta bersama B. J. Soepardi, Benyamin Sueb, Idris Sardi, Bing Slamet, Grup Kwartet Jaya, dan lain-lain. Ia kemudian mendirikan Grup Campursari Maju Lancar di Gunung Kidul. Manthous lahir di Desa Playen, Gunung Kidul, pada tahun 1950. Pada tahun 1966, ketika berusia 16 tahun, Manthous memberanikan diri pergi ke Jakarta. Tentu saja dengan latar belakang pendidikan SMP, pilihan utamanya adalah hidup ngamen, yang ia anggap mewakili bakatnya. Pada tahun 1969 dia bergabung dengan Orkes Keroncong Bintang Jakarta pimpinan B. J. Soepardi sebagai pemain cello petik. Namun kemudian, pada tahun tahun 1976, Manthous yang juga piawai bermain bass mendirikan grup band Bieb Blues berciri funky rock bersama dengan Bieb anak Benyamin Sueb. Bieb Blues bertahan hingga tahun 1980. Ia adalah juru rekam Musica Studio. Kemudian, Manthous bergabung dengan Idris Sardi, dalam grup Gambang Kromong Benyamin Sueb. Selain itu sebelumnya ia pernah juga menjadi pengiring Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet Jaya. Tahun 1990 ia berkenalan dengan A. Riyanto yang memiliki studio di Cepete, dan sering membuat rekaman di studio ini.

Mendirikan Campursari

Kelihatannya semua pengalaman inilah yang membuat Manthous menguasai aliran musik apa pun. Dalam khazanah dangdut, bahkan, dia juga menjadi panutan karena mampu mencipta trik-trik permainan bas, yang kemudian ditiru oleh para pemain bas dangdut sekarang. Pada tahun 1993, Manthous mendirikan Grup Musik Campursari Gunung Kidul Maju Lancar. Garapannya menampilkan kekhasan campursari dengan langgam-langgam Jawa yang sudah ada. Ada warna rock, reggae, gambang kromong, dan lainnya. Ada juga tembang Jawa murni seperti Kutut Manggung, atau Bowo Asmorondono, dengan gamelan yang diwarnai keyboard dan gitar bas. Bersama grup musik yang berdiri tahun 1993 dan beranggotakan saudara atau rekan sedaerah di Playen, Gunungkidul, Yogyakarta itu. Membuat Rekaman Casette Manthous menyelesaikan sejumlah volume rekaman di Semarang. Omzet penjualan mencapai 50.000 kaset setiap volume, tertinggi dibanding kaset langgam atau keroncong umumnya pada tahun-tahun pertengahan 1990-an.Di samping menyanyi sendiri dalam kegiatan rekaman itu Manthuos juga menampilkan suara penyanyi Sulasmi dari Sragen, Minul dari Gunungkidul, dan Sunyahni dari Karanganyar. Beberapa lagunya yang populer di antaranya Anting-anting, Nyidamsari, Gandrung, dan Kutut Manggung. Namun, karya besarnya yang banyak
dikenal oleh orang Indonesia adalah Getuk yang pertama kali dipopulerkan oleh Nurafni Octavia.

Akhir Hayatnya
Sampai sebelum akhirnya terkena serangan stroke pada pertengahan tahun 2001, Manthous bersama Grup Campursari Maju Lancar Gunungkidul menjadi kiblat bagi para pencinta lagu-lagu langgam Jawa dan campursari. Tahun 2002 ia mulai memakai kursi roda akibat stoke, namun hingga akhir hayatnya ia masih aktif bernyanyi meski memakai kursi roda. Terakhir ia tinggal di Perumahan Bukit
Pamulang, Tangerang. Ia meninggal setelah dirawat di Rumah Sakit Pamulang pada tanggal 9 maret 2012, dan tanggal 10 Maret 2012 dibawa lewat udara melalui Bandara Soekarno Hatta.



Keluarga

Utasih Manthous (lahir 1957), isteri, menikah tahun 1976
Deasy Liana (lahir 1959), isteri, menikah tahun 1983
Tatut Dian Ambarwati (lahir 1977), anak
Ade Dian Chrismastuti (lahir 1978), anak
Denny Dian Nawanina (lahir 1979), anak
Anindya Janu Wardhani (lahir 1988), anak, saat ini masih kuliah dan berdomisili di Yogyakarta
Sabrina Andes Putri Anto (lahir 1988), anak
Joan Antonio Marcello De Pizzicato (lahir 1990), anak












R. SOETEDJA POERWODIBROTO



R. SOETEDJA POERWODIBROTO sejak 1940-an nama Sungai Serayu sering terdengar di radio lewat lagu kroncong ‘Di Tepinya Sungai Serayu’ ciptaan R. Soetedja Poerwodibroto (1909 – 1960), komponis kelahiran Banyumas yang juga mencipta lagu ‘Tidurlah Intan’ dan ‘Kopral Jono’. Ratusan partitur lagu ciptaannya yang tersimpan di RRI Pusat Jakarta musnah saat terjadi kebakaran pada 1950-an. Adalah Jack Lesmana yang secara kebetulan menyelamatkan sekitar 70-an karya R. Soetedja itu

“Di Tepi Sungai Serayu”. Ya, lagu bergenre keroncong tersebut merupakan ciptaan almarhum R. Soetedja, seniman dan komponis asli Banyumas. Selain dikenal sebagai seniman, tokoh yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1909 ini juga dikenal sebagai salah satu pendiri Radio Republik Indonesia (RRI) Purwokerto.

Sejatinya lagu gubahan R. Seotedjo tidak hanya lagu “Di Tepi Sungai Serayu” tapi masih banyak lagi. Namun sebagian besar karya beliau yang tersimpan di RRI Pusat Jakarta musnah pada saat terjadi kebakaran tahun 1950-an. Maka, banyak gubahan beliau dalam bentuk partitur note balok ikut musnah terbakar. Meski begitu, gitaris Jack Lesmana alias Jack Lamers sempat meminjam beberapa partitur lagu-lagu gubahan beliau untuk direkam. Berkat Jack Lesmana, sekitar 70 lagu sempat  terselamatkan. Tapi, ratusan lagu lainnya binasa. Sayangnya justru partitur lagu-lagu lagendaris itulah yang ikut binasa. Lagu-lagu gubahan R. Soetedjo juga terkenal di Eropa terutama di Negara Belanda. Misalnya lagu “Als d'Orchide Bluijen” atau dalam bahasa Indonesia artinya “Ketika Anggrek Berbunga”. Konon, lagu tersebut diciptakan di negeri Belanda ketika R. Seotedjo dengan pacarnya yang berkebangsaan Belanda sedang berjalan-jalan di pasar bunga. Kemudian ada juga lagu terkenal lainnya seperti “Waarom Huil Je tot Nona Manies” atau “Mengapa Kau Menangis” diciptakan ketika R. Seotedjo berpisah dengan pacarnya, karena telah menyelesaikan studi di konservatori musik di Roma, Italia.
Di Indonesia, sebagian masyarakat hanya mengenal beberapa lagunya ciptaannya seperti “Tidurlah Intan” yang sempat menjadi closing song siaran bahasa Indonesia radio Australia, “Hamba Menyanyi,” “Mutiaraku”,  “Kopral Jono” dan yang cukup terkenal adalah lagu“Di Tepinya Sungai Serayu. Untuk lagu “Kopral Jono” R. Soetedjo menggubahnya secara khusus untuk menyindir keponakannya yang berpangkat kopral, tapi terkesan bersifat play bloy. Sedangkan lagu “Tidurlah Intan” diciptakan untuk meninabobokan anaknya.
Masa Kecil R. Soetedja
Soetedja merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara putra Asisten Wedana Kebumen, Baturaden bernama R. Ibrahim Purwadibrata. Menginjak umur satu tahun, Soetedjo kecil dijadikan anak angkat oleh seorang pengusaha besar perkebunan di Purworejo Klampok Banjarnegara, bernama R. Soemandar, yang  merupakan kakak kandung ayahnya.
Konon Soetedja kecil suka memukul-mukul perangkat untuk memasak di dapur ibunya. Suara-suara yang ditimbulkan dari perangkat untuk memasak itu sangat mengganggu ayahnya. Meski begitu, sang ayah sempat menangkap bakat musik Soetedja kecil.
Membaca bakat yang luar biasa pada diri Soetedjo kecil, ayahnya membelikan biola Stadivarius Paganini pada saat berdagang di Eropa. Soetedja kecil sangat gembira, dan tidak lagi menciptakan bunyi-bunyian perkusi dari perangkat dapur milik ibunya. Di kemudian hari, Soetedja kecil mendapat hadiah instrumen musik berikutnya, berupa piano.

KRT. ANDJAR ANY SINGANAGARA



KRT Andjar Any Singanagara (nama lahir Andjar Mudjiono, lahir di Ponorogo, 3 Maret 1936 – meninggal di Surakarta, 13 November 2008 pada umur 72 tahun) adalah pencipta lagu langgam Jawa, sastrawan (terutama sastra Jawa modern), wartawan, dan kritikus seni asal Surakarta.

Dengan nama seni Andjar Any, seniman serbabisa ini telah menciptakan 1050-an lagu yang tercatat oleh Museum Rekor Indonesia (namun rekan-rekannya menduga ada sekitar 2000-an lagu telah diciptakannya). Di antara lagu ciptaannya yang populer adalah Jangkrik Génggong, Yèn ing Tawang Ana Lintang, Nyidham Sari, Kasmaran (Iki Wèk-é Sapa), serta Taman Jurug.
Grup Keroncongnya Andjar Any

Pada tahun 1960-an langgam Jawa mulai disukai orang. Penyanyi langgam Jawa populer saat itu, Waldjinah menyanyikan sejumlah lagu karangan Anjar Any. Lagu-lagu karangannya juga dipopulerkan oleh Ki Narto Sabdo dan Gesang. Pada masa kebangkitan campursari dan congdut, lagu-lagunya kembali dikenal orang, misalnya melalui Manthous dan Didi Kempot.

Selain dikenal sebagai penulis lagu, Andjar Any banyak menulis cerpen (bahasa Jawa: cerkak, singkatan dari crita cekak (cerpen) serta puisi bebas berbahasa Jawa (geguritan). Cakupan minat seninya juga merambah ke aspek seni pertunjukan. Ia pernah memimpin suatu organisasi pembina reog. Selain itu, ia mendirikan pula grup campursari "Sangga Buana" dan grup keroncong "Hanjaringrat" Sebagai wartawan ia pernah mengasuh koran lokal Pos Kita. Sejumlah tulisan lainnya merupakan kronik sejarah.

Andjar Any menikah dengan Piyatni ("Niek ") dan pasangan ini dikaruniai lima anak. Pada bulan Maret 2008 ia masih sempat merayakan perkawinan emasnya (50 tahun). Ia wafat setelah sakit strok beberapa waktu. Jenazahnya dimakamkan di Astana Bibisluhur, Surakarta.


SUMIYATI HADI



SUMIYATI HADI merupakan vokalis keroncong senior walaupun namanya tidak setenar Waldjinah, namun kasetnya juga juga banyak yang telah terekam dalam industri musik nusantara. Semua penyanyi keroncong melejit lewat ajang lomba keroncong baik itu RRI maupun dalam lomba non RRI.
Salah satu album Sumiyati Hadi yaitu bersama Orkes Keroncong Sekar Mas pimpinan Adi Karso dalam album Mengenang Ismail Marzuki dengan label Media Record. lagu dalam kaset tersebut antara lain :

Side A

Sepasang Mata Bola
Dari Mana Datangnya Asmara
Sabda Alam
Tinggi Gunung Seribu Janji
Rayuan Pulau Kelapa
Kunang Kunang
Selendang Sutra
Kasih Putus Ditengah Jalan
Rindu
Indonesia Tanah Pusaka

Side B

Kr. Berjumpa Diri
Kr. Malam Minggu
Kr. Merdu
Kr. Bunga Sakura
Kr. Aku Rela
Kr. Puspaku

Sumiati Hadi adalah penyanyi kroncong wanita yang pada era 60an kerap menjuarai beberapa lomba nyanyi keroncong. Sumiati Hadi ini adalah ibu kandung dari penyanyi pop era 80an Dian Pramana Putra dan Henry Restoe Putra. Di album ini juga tampil penyanyi pop sekaligus aktor Rachmat Kartolo. Dengan iringan Orkes Keroncong Permata  pimpinan Bram Titaley

SUKARDI



SUKARDI adalah penyanyi keroncong yang melejit namanya setelah mengikuti ajang lomba keroncong RRI pada tahun 1984. Setelah berhasil jadi juara, Sukardi masuk dapur rekaman dan namanya semakin meroket. Salah satu album Sukardi dan Toto Salmon bekerja sama dengan PT. Irama Tara Jakarta dalam album Dari Masa Ke Masa. Di bawah ini adalah lagu lagu dalam kaset tersebut antara lain :

Side A

1. Kr. Bahana Pancasila        Sukardi
2. Kr. Indonesia Jelita           Sukardi
3. Stb. Mengenang Nasib      Sukardi
4. Kr. Miss Ribut                   Toto Salmon
5. Solo Diwaktu Malam        Toto Salmon

Side B

1. Stb. Kayu Api                   Sukardi
2. Kr. Tanah Air                    Sukardi
3. Kr. Telomoyo                    Sukardi
4. Kr. Pasir Putih                   Toto Salmon
5. Di Tepi Sungai Serayu     Toto Salmon



JANDOKO Ok Bintang Semarang



JANDOKO adalah pimpinan Orkes Keroncong Bintang semarang. Orkes ini dikenal dan malang melintang di dunia musik Indonesia tercinta pada dekade 60-70 an. Di samping musisi Jandoko juga mencipta lagu salah satunya yaitu lagu Simpang Lima dinyanyikan oleh S. Darsih Kisowo yang direkam di Lokananta Record. Lagu dalam kaset tersebut antara lain :

1. Tjepret Pajung
2. Lenggang Kangkung
3. Gadis Modern
4. Ketjik Ketjik
5. Simpang Lima
6. Ma Simpel
7. Tua Tua Kelapa
8. Awe Awe



IDRIS SARDI



IDRIS SARDI lahir di Batavia, Hindia Belanda atau Jakarta 7 Juni 1938 dan tutup usia di Cimanggis, Depok, 28 April 2014. Idris Sardi adalah anak dari M. Sardi pemain biola Orkes RRI Studio Jakarta. Sementara ibunya, Hadidjah merupakan aktris Indonesia di era tahun 1940 1970an.

LATAR BELAKANG
Pada usia 6 tahun, pertama kali mengenal biola. Dan di usia 10 tahun ia sudah tampil di Yogyakarta tahun 1949 dengan sambutan yang hangat. Idris Sardi adalah anak ajaib di Indonesia karena di usia muda sekali sudah lincah bermain biola.
Tahun 1952 Sekolah Musik Indonesia (SMIND) dibuka, dengan persyaratan
menerima lulusan SMP atau yang sederajat. Pada tahun 1952, Idris Sardi baru berusia 14 tahun, sehingga ia belum lulus SMP, namun karena permainannya yang luar biasa ia bisa diterima sebagai siswa SMIND tersebut. Bersama temannya yang juga pemain biola, Suyono (almarhum) namun bukan anak ajaib, yang lebih tua 2 tahun merupakan dua orang siswa SMIND yang berbakat sekali. Pada orkes siswa SMIND pimpinan Nicolai Varvolomejeff, tahun 1952 Indris yang masih memakai celana pendek dalam seharian duduk sebagai concert master pada usia 14 tahun, duduk bersanding dengan Suyono. Rata-rata siswa SMIND berusia di atas 16 tahun. Guru biola Idris waktu di Yogyakarta 1952 1954 adalah George Setet, sedangkan pada waktu di Jakarta setelah 1954 adalah Henri Tordasi. Kedua guru orang Hongaria ini telah mendidik banyak pemain biola di Indonesia. Ketika M. Sardi meninggal, 1953, Idris dalam usia 16 tahun harus menggantikan kedudukan sang ayah sebagai violis pertama dari Orkes RRI Studio Jakarta pimpinan Saiful Bahri. Pada tahun 60-an, Idris beralih dari dunia musik biola serius, idolisme Heifetz, ke komersialisasi Helmut Zackarias. Idris Sardi merupakan ayah dari pemeran Indonesia, Lukman Sardi dari pernikahannya dengan Zerlita. Setelah perceraiannya dengan Marini, Perkawinannya yang ketiga adalah dengan Ratih Putri.




INDRA UTAMI TAMSIR



INDRA UTAMI TAMSIR menjadi Penyanyi Keroncong Wanita Terbaik dalam ajang AMI Awards 2013. Artis kelahiran Blora 39 tahun silam ini memiliki segudang pengalaman di bidang tarik suara, mulai dari yang bergenre pop, dangdut, hingga langgam jawa dan keroncong, genre yang menjadi jiwanya saat ini. Semangatnya menekuni jenis musik ini semakin meluap-luap setelah pilihannya itu mendapatkan restu dan dukungan penuh dari Ratu Keroncong, Waldjinah.

Indra Utami Tamsir dinobatkan sebagai Penyanyi Keroncong Wanita Terbaik dalam ajang AMI Awards 2013. Sebelum berkarir di dunia musik keroncong, Indra telah melewati berbagai perjalanan dari berbagai jenis musik dan pekerjaan. Ia mengaku pernah menjadi pemandu acara (MC) pengantin hingga pada akhirnya mengkhususkan diri sebagai MC pengantin jawa.
Waktu ia duduk di sekolah dasar (SD), di rumah ayahnya ada seperangkat alat gamelan yang digunakan untuk latihan oleh begitu banyak orang. Pembimbing dan pengajarnya adalah ayahnya sendiri yang merupakan “seniman tulen, pengajar karawitan, dan pengajar tembang.” Sejak kelas 6 SD ia mengaku sudah bisa nggending dan belajar macapat. Ketika SMP, ia  sering mengikuti latihan kolintang di sekolahnya, memainkan lagu-lagu keroncong. Ia lantas menjadi finalis dalam lomba keroncong tingkat SMP. Dari situlah ia mulai memutuskan untuk menjadi penyanyi.

Semasa SMA ia mengaku lebih menggemari pop dan jenis musik lainnya. Ia juga sempat mengikuti beberapa festival hingga tingkat kabupaten dan provinsi. “Selama SMA cuma boleh ikut festival, tidak boleh ikut pentas yang ada honornya. Ibu saya orangnya sangat tegas. Beliau seorang pedagang, sedangkan bapak seniman. Passion musik saya mengalir dari bapak. Setelah lulus SMA di Blora, saya kuliah di Yogyakarta. Di situlah saya mulai berani menerima tawaran manggung, dan yang lebih banyak adalah untuk menyanyi dangdut,” kenangnya.

“Sampai mati saya mau menyanyi langgam.” Terkait hal ini, ia mengaku sangat mengagumi Waldjinah, yang kendati telah puluhan tahun tinggal di Jakarta, tapi jawanya masih kental. Satu kebanggan tersendiri ketika suatu saat Indra mengunjungi Waldjinah yang tengah terbaring sakit. “Ketika itu beliau memberikan restunya pada saya untuk melanjutkan perjuangannya di langgam.” Hal lain dari Waldjinah yang membesarkan hati Indra adalah pesannya, “Suara kamu itu bagus, cantik lagi, tapi kurang kemayu, kurang genit. Kemayu itu bagus untuk di panggung, tapi tidak untuk kehidupan sehari-hari.”
Bagi Indra Waldjinah adalah inspirasi. Ia mengagumi sosok Waldjinah karena prestasinya yang luar biasa. “Sampai saat ini, belum ada penyanyi perempuan yang setara dengan Waldjinah.”

INDAH SUSHANTI



INDAH SUSHANTI merupakan vokalis keroncong yang cantik dan melejit via ajang lomba yang di selenggarakan RRI seperti artis artis keroncong lainya. Tokoh yang satu ini seangkatan dengan Sri Widadi dan Toto Salmon. Indah Sushanti juga pernah satu album bersama Sri Widadi dan Toto Salmon dengan label Gemini Record (GMN) di album Lagu Lagu Keroncong Asli yang di iringi oleh Orkes Keroncong Bintang Jakarta pimpinan BUdiman BJ.

Dalam kaset tersebut menyuguhkan arransement yang bagus dari Budiman BJ. Lagu lagu yang ada di kaset tersebut antara lain:

Side A

1. Kr. Ciptaan Lama       Sri Widadi
2. Kr. Tembang Kiasan Toto Salmon
3. Stb. Terkenang           Sri Widadi
4. Jumpa Lagi                  Indah Sushanti
5. Kr. Fantasi                   Sri Widadi
6.Jauh Sudah                 Toto Salmon
7. Seruling Gembala      Sri Widadi
8. Stb. Kecewa                Sri Widadi

Side B
1. Dibawah Sinar Bulan Purnama    Indah Sushanti
2. Kr. Mawar Sekuntum                      Sri Widadi
3. Kr. Bunga Sakura                            Indah Sushanti
4. Keroncong Kesetiaan                   Toto Salmon
5. Kr. Harapanku                                 Toto Salmon
6. Telaga Biru                                      Indah Sushanti
7. Kr. Panen Padi                                Toto Salmon



WARTONO Ketua HAMKRI Surakarta



WARTONO wakil Ketua II DPP Hamkri Jawa Tengah dan Ketua DPC Hamkri Solo. Tokoh keroncong yang satu ini sangat familiar dan sangat rajin sekali mengunjungi dan memberikan motivasi pada grup grup di kota Solo. Setiap ada latihan pasti beliau menyempatkan diri hadir. Bahkan dalam satu malam beliau bisa mengunjungi lebih dari 2 grup demi memberikan motivasi kepada grup keroncong.

Pak Wartono mengatakan “Omong kosong saya melakukan semua ini agar keroncong bisa terus lestari. Apa sing tak senengi ya tak lakoni. Itu saja sebenarnya” ujarnya.

“Saya itu ndak bisa nyanyi. Main musik (keroncong) pun pas-pasan. Namun saya menemukan jati diri di sini. Hal itulah yang bikin saya merasa utang budi pada keroncong,”

Bagi lelaki pengagum almarhum WS Nardi ini, keroncong tak ubahnya oase yang mengaliri kekeringan di hati. Maka, ketika tahu musik itu menuju kolaps pada tahun 1980-an, ia pun tak tinggal diam. Tahun 1983, Wartono membuat Keroncong Gadon di tempat tinggalnya di Panularan. Sekitar 1986-1988, Wartono membentuk Keroncong Lompo Batang di Mojosongo dan Orkes Keroncong (OK) Cakra Buana di Panularan.

Saking getolnya dengan dunia keroncong, ia mengaku kerap diprotes sang istri, Endang Sri Wahyuni. Diungkapkan lelaki yang juga mantan wartawan ini, istrinya sering merasa dinomorduakan akibat kiprahnya di seni keroncong. “Kadang kalau sedang bercanda, ia menyebut dirinya seperti istri kedua. Istri pertama saya keroncong katanya,” ujarnya sambil tersenyum.

Meski telah banyak bergerak di keroncong akar rumput, Wartono mengaku masih memiliki sejumlah impian. Lewat Hamkri, ia berupaya memperjuangkan seniman keroncong agar bisa hidup lewat seni yang ditekuninya itu. “Nonsense suatu kesenian bisa berkembang tanpa menghidupi senimannya terlebih dulu,” ucap lelaki yang hobi menulis cerpen itu.

Ketua HAMKRI Surakarta, Wartono mengungkapkan tujuan pementasan keroncong setiap hari jumat di Joglo Sriwedari yaitu untuk mewadahi dan  mengakomodir komunitas serta pecinta musik keroncong, khususnya Kota Solo. Kecuali pada minggu ketiga, kegiatan Keroncong Joglo ini  rutin di adakan setiap Jumat tiap malamnya. Selain itu ada latihan bersama setiap Minggu sore. Selain sebagai sajian hiburan kegiatan ini kami maksudkan untuk menumbuh kembangkan kesenian musik  keroncong di tengah masyarakat sekaligus untuk mewadahi dan mengakomodir kelompok-kelompok serta pecinta musik keroncong, khususnya di Solo.

Kata Wartono saat ini sudah sebanyak 64 kelompok orkes keroncong yang  tersebar hingga pelosok-pelosok daerah di wilayah Solo Raya. Saat ini Hamkri akan terus menggalakkan sosialisasi sebagai pelestarian  kesenian musik keroncong melalui program Regeng Kampung yang saat ini sudah berjalan di hingga pelosok pelosok daerah.



SRI HARTATI



SRI HARTATI dengan warna vokal yang khas dan merdu ini melejit namanya setelah menjadi Juara Festival Keroncong pada tahun 1978 1979. Tidak cuma vokalis handal saja, Sri Hartati juga sering menjadi dewan juri di lomba keroncong di kotanya. Tokoh yang satu ini adalah vokalis senior dari kota Yogyakarta dan bayak sekali album2 yang beliau hasilkan di industri rekaman. Salah satu album beliau terpampang di Apple musik di iringi Orkes Keroncong Surya Mataram pimpinan Iswan dengan label ℗ 2003 Gema Nada Pertiwi seperti yang tertera di bawah ini:

Album Emas Keroncong: Sri Hartati

Lgm. Selendang Sutera
Lgm. Sepasang Mata Bola
Saputangan
Dari Bandung Selatan
Lgm. Sampul Surat
Kr. Gadis Mataram
Lgm. Pandangan Pertama
Lgm. Nyiur Hijau
Lgm. Karangan Bunga
Dari Selatan
Kr. Dharma Bakti
Lgm. Indonesia Pusaka
Lgm. Gugur Bunga


S. HARTI



SUHARTI (almarhumah) atau yang kita kenal sebagai S. HARTI merupakan salah satu dari tiga diva vokalis keroncong senior dari kota Solo seangkatan Waldjinah, S. Bekti dan Gesang. Almarhumah ibu Suharti merupakan anak pertama dari pasangan Soehadi Hadi Soemarto almarhum dan almarhumah TMV. Suminah. Ibu Suharti almarhum lahir di kota Solo15 Mei 1944, tutup usia 1 Maret 2015 pada usia 71 tahun.
S. Harti bersama suami  Umar Usman bin Abud Sanad dan Kirun



Dari kiri itu ada almh Natalia Siti Suwarsiki alias Seiko, Nuning Darmono (keponakan Alm mbah Gesang), almh Djujuk Djuwariah, Hj.Waldjinah

S. Harti bersama Waldjinah

S. Harti bersama Gesang

S. Harti bersama Gesang

S. Harti bersama ROS Radio Orkes Surakarta

S. Harti bersama ROS Radio Orkes Surakarta




Ibu Suharti almarhumah adalah istri dari Suhardjono dan di karuniai 3 orang putra/putri :
1. RBJ Indartanto
2. Dwi Harjani
3. Visnatri (Ibundanya mas Diaz)

Setelah bercerai dengan Suhardjono, Ibu Suharti menikah lagi dengan almarhum Umar Usman bin Abud Sanad dan di karuniai satu orang putra Agus Riyadi. Umar Usman merupakan pemilik Orkes Melayu Janger Solo.

Ibu Suharti salah satu tiga diva di kota Solo telah menorehkan banyak sekali karya di blantika musik keroncong baik di kota Solo maupun di kota lainya. Salah satu karya beliau yang saya suka yaitu di Kusuma Recording dengan Grup Orkes Keroncong Gema Puspita dibawah pimpinan M. Munawir. Dalam album tersebut S. Harti bersama penyanyi lainya yaitu:

Gesang
S. Mulyani
Ismanto
Waluyo
S. Harni

PERSONEL OK GEMA PUSPITA

Pimpinan – M. Munawir
Biola        – Budiman BJ
Flute        – Bambang HS
Bass       – Tamsi
Cello       – Salamun
Gitar       – Tukiyo
Cak        – Indarto
Cuk        – Kasiman